Maninjau, suatu dini hari akhir tahun 70-an. Pagi itu kami terjaga lebih cepat. Suara bayi membahana dari tengah rumah. Saya terbang dari kamar tidur. Ada perempuan terbujur dengan kedua kaki menganga di lantai. Mata bocahku sempat menangkap lubang di sana sebelum seorang bapak menggeser badannya menutupi. Aku lalu berputar ke dapur dan mendapati mami sedang memasak air panas. Antara senang dan sedih karena tak jadi senang. Senang karena bukan mami korban yang terbujur itu. Kecewa karena suara tangisan bayi tadi bukan bayi mami yg berarti bukan adikku. Dari mami aku tahu kalau yang terbujur itu adalah istri Pak Siabu. Istrinya yang hamil tua sudah kebelet, sehingga bayinya tak sempat mendarat di kamar bersalin bidan yang berada di belakang rumah kami. Bayinya akhirnya bertumpahdarahkan lantai teras rumah kami. Seringkali aku bertanya-tanya siapa nama anak Pak Arnas itu. Orang Batak biasa menamai anaknya dari tempat atau kejadian yang bertepatan dengan kelahiran. Bisa saja a...
Coret-coretan yang lahir gegara "dikutuk" berdiri lama di kereta