Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2020

Janji Bocah

Maninjau, suatu dini hari akhir tahun 70-an. Pagi itu kami terjaga lebih cepat. Suara bayi membahana dari tengah rumah. Saya terbang dari kamar tidur. Ada perempuan terbujur dengan kedua kaki menganga di lantai. Mata bocahku sempat menangkap lubang di sana sebelum seorang bapak menggeser badannya menutupi. Aku lalu berputar ke dapur dan mendapati mami sedang memasak air panas. Antara senang dan sedih karena tak jadi senang. Senang karena bukan mami korban yang terbujur itu. Kecewa karena suara tangisan bayi tadi bukan bayi mami yg berarti bukan adikku. Dari mami aku tahu kalau yang terbujur itu adalah istri Pak Siabu. Istrinya yang hamil tua sudah kebelet, sehingga bayinya tak sempat mendarat di kamar bersalin bidan yang berada di belakang rumah kami. Bayinya akhirnya bertumpahdarahkan lantai teras rumah kami. Seringkali aku bertanya-tanya siapa nama anak Pak Arnas itu. Orang Batak biasa menamai anaknya dari tempat atau kejadian yang bertepatan dengan kelahiran. Bisa saja a

Çay Semblohay

Teh Turki atau çay berasal dari bahasa Arab شاي  (sya:y) yg artinya, iya, teh. Ç cedilla atau c berdiakritik bawah itu dilafalkan seperti /c/ dalam "cinta", sedangkan /c/ polos Turki dibaca seperti /j/ dalam "jet". Terus, /j/ bagaimana? Huruf /j/ mereka bunyikan seperti /j/ Prancis. Kira2 mirip /zh/ atau /z/ kita. Untuk menampung fonem yg kaya mereka "terpaksa" menggunakan diakritik. Tidak hanya konsonan, vokal mereka jg berdiakritik, contohnya nama Mesut Özil. Cay rasanya lebih kelat. Rasa kelat itu tersisa di tenggorokan beberapa saat setelah diteguk. Teh kelat itu istimewa, mulai dr tulisannya, bahan, takaran, suhu waktu dipanaskan sampai tadah dan gelasnya, semuanya tertentu. Gulanya juga khusus, gula putih berbentuk kotak yg tinggal ditambahkan mata di keenam sisinya, jadilah dia dadu, bisa untuk main ular tangga. Gula itu bukan gula batu kita yg kerasnya kayak akik. Gula itu adalah gula pasir halus sekali yg dipadatkan menyerupai kotak. Mungkin

Orwellian Berseragam Abu-Abu

Pas keluar dari sesaknya bus Transjakarta Senin pagi lalu (3/1) mataku terpancang pada tangan anak muda yang berjalan di samping. "Ekstensi" tangannya menarik karena tak biasa. Bukan gadget elektronik, ekstensi tangan populer anak muda kini. Di genggaman tangan kiri anak muda itu melekat buku tebal berbahasa Inggris. Di punggung buku sangat jelas terpajan: WHY NATIONS FAIL. Buku non-fiksi terkenal tentang politik-ekonomi hasil duet profesor ekonomi MIT, Daron Acemoglo dengan ilmuwan ekonomi Harvard, James A. Robinson. Gawai tak biasa, dengan tema yang lebih tak biasa lagi di tangan "bocah" berseragam putih abu-abu. Gawai di tangan anak muda berkacamata itu kelas tinggi. Itu layaknya bacaan pemimpin negara kayak Presiden Joko Widodo. Namun si bocah telah menentengnya ke mana-mana menemani waktu luangnya. Jangan dulu dibandingkan dengan kawan sebanyanya yang masih keranjingan mengeja permainan daring PUBG atau Freefire, saya saja waktu