Maninjau, suatu dini hari akhir tahun 70-an.
Pagi itu kami terjaga lebih cepat. Suara bayi membahana dari tengah rumah. Saya terbang dari kamar tidur. Ada perempuan terbujur dengan kedua kaki menganga di lantai. Mata bocahku sempat menangkap lubang di sana sebelum seorang bapak menggeser badannya menutupi.
Aku lalu berputar ke dapur dan mendapati mami sedang memasak air panas. Antara senang dan sedih karena tak jadi senang. Senang karena bukan mami korban yang terbujur itu. Kecewa karena suara tangisan bayi tadi bukan bayi mami yg berarti bukan adikku.
Dari mami aku tahu kalau yang terbujur itu adalah istri Pak Siabu. Istrinya yang hamil tua sudah kebelet, sehingga bayinya tak sempat mendarat di kamar bersalin bidan yang berada di belakang rumah kami. Bayinya akhirnya bertumpahdarahkan lantai teras rumah kami.
Seringkali aku bertanya-tanya siapa nama anak Pak Arnas itu. Orang Batak biasa menamai anaknya dari tempat atau kejadian yang bertepatan dengan kelahiran. Bisa saja anak itu dimanai Teras Siabu untuk mengenang kelahirannya yang terpaksa disambut teras rumahku.
Besoknya cerita kelahiran itu menyebar di kampung kecil kami. Cerita di kalangan kami, bocah umur tujuh tahunan, lebih seru lagi. Tak ada yang mengalahkan keseruan cerita dan debat kusir bocah di manapun dan tentang topik apa saja. Apalagi debat tentang dari mana asal bayi.
Cerita dan debat bocah antara kami mengalami deadlock. Ada satu bagian yang tak dapat aku jelaskan dan tak ada juga yang yakin tahu jawabnya. Bagian itu adalah tentang dari mana lahirnya bayi tadi subuh itu. Dari pintu yang mana tepatnya.
Aku dengan agak yakin, berbekal sekelabat penampakan sebelun tertutup oleh badan si Pak Arnas, berpendapat bahwa lahirnya dari pintu belakang alias dubur. Teman yang lain tak sependapat, karena itu tempat pup. Kalau kita keluar dari sana, katanya, badan kita pasti berwarna kuning bukan merah. Benar juga.
Akhirnya debat kami itu ditutup dengan ikrar. Kok ikrar? Iya, kami berikrar untuk menunda jawaban pertanyaan itu kelak. Setelah kami menikah dan beranak. Karena saat ini tak ada yang bisa ditanya. Kalaupun ada, bagaimana cara bertanyanya? Jangankan menyebut namanya, membayangkan saja sudah berdosa rasanya.
Minggu lalu, setelah bertemu kembali dengan salah satu teman waktu bocah yang berikrar dulu, saya dicemplungkan ke grup WA mereka. Hal pertama yang saya tagih dari grup itu adalah ikrar dan janji mereka tentang tempat keluar bayi dulu. Tak ada yang menjawab, mungkin setelah 30 tahun lebih mereka tak ingat lagi janji itu atau bisa jadi semua anak mereka lahir dari perut alias sesar ha ha...
Pagi itu kami terjaga lebih cepat. Suara bayi membahana dari tengah rumah. Saya terbang dari kamar tidur. Ada perempuan terbujur dengan kedua kaki menganga di lantai. Mata bocahku sempat menangkap lubang di sana sebelum seorang bapak menggeser badannya menutupi.
Aku lalu berputar ke dapur dan mendapati mami sedang memasak air panas. Antara senang dan sedih karena tak jadi senang. Senang karena bukan mami korban yang terbujur itu. Kecewa karena suara tangisan bayi tadi bukan bayi mami yg berarti bukan adikku.
Dari mami aku tahu kalau yang terbujur itu adalah istri Pak Siabu. Istrinya yang hamil tua sudah kebelet, sehingga bayinya tak sempat mendarat di kamar bersalin bidan yang berada di belakang rumah kami. Bayinya akhirnya bertumpahdarahkan lantai teras rumah kami.
Seringkali aku bertanya-tanya siapa nama anak Pak Arnas itu. Orang Batak biasa menamai anaknya dari tempat atau kejadian yang bertepatan dengan kelahiran. Bisa saja anak itu dimanai Teras Siabu untuk mengenang kelahirannya yang terpaksa disambut teras rumahku.
Besoknya cerita kelahiran itu menyebar di kampung kecil kami. Cerita di kalangan kami, bocah umur tujuh tahunan, lebih seru lagi. Tak ada yang mengalahkan keseruan cerita dan debat kusir bocah di manapun dan tentang topik apa saja. Apalagi debat tentang dari mana asal bayi.
Cerita dan debat bocah antara kami mengalami deadlock. Ada satu bagian yang tak dapat aku jelaskan dan tak ada juga yang yakin tahu jawabnya. Bagian itu adalah tentang dari mana lahirnya bayi tadi subuh itu. Dari pintu yang mana tepatnya.
Aku dengan agak yakin, berbekal sekelabat penampakan sebelun tertutup oleh badan si Pak Arnas, berpendapat bahwa lahirnya dari pintu belakang alias dubur. Teman yang lain tak sependapat, karena itu tempat pup. Kalau kita keluar dari sana, katanya, badan kita pasti berwarna kuning bukan merah. Benar juga.
Akhirnya debat kami itu ditutup dengan ikrar. Kok ikrar? Iya, kami berikrar untuk menunda jawaban pertanyaan itu kelak. Setelah kami menikah dan beranak. Karena saat ini tak ada yang bisa ditanya. Kalaupun ada, bagaimana cara bertanyanya? Jangankan menyebut namanya, membayangkan saja sudah berdosa rasanya.
Minggu lalu, setelah bertemu kembali dengan salah satu teman waktu bocah yang berikrar dulu, saya dicemplungkan ke grup WA mereka. Hal pertama yang saya tagih dari grup itu adalah ikrar dan janji mereka tentang tempat keluar bayi dulu. Tak ada yang menjawab, mungkin setelah 30 tahun lebih mereka tak ingat lagi janji itu atau bisa jadi semua anak mereka lahir dari perut alias sesar ha ha...
Komentar
Posting Komentar