Penghuni tetap pertama garasi rumah kami adalah mobil jip banci putih.
Disebut banci karena jip jenis Daihatsu Taft Hiline GTS F69 pabrikan 1994 itu bergardan tunggal, bukan mobil 4 WD atau mobil 4x4 yg bergardan ganda, pelahap semua medan. Kami anggap penghuni tetap karena garasi sederhana kami acap menjadi kandang dadakan mobil mertua yg sering kami pinjam karena berbagai alasan.
Jip banci putih kami itu tua tapi irit solar, AC-nya dingin, dan biaya perawatannya jimat. Tenaganya? jangan ditanya. Buangan galian pasir dari danau buatan yang menggunung di sebelah rumah dilahapnya tanpa harus mengoper ke gigi rendah. Plat dua angkanya seperti menambah berlian di atas mahkota saja.Kapasitas volume silendernya yang 2.800 dan ban Savero MT/AT yang melingkari velk ring 15-nya membuat daya cengkeram mobil semakin mantap. Apalagi di jalan offroad, doi seperti pulang kampung aja. Ban stip yang menangkring di punggung menambah macho si Putih, demikian kami menyebutnya.
Karena si Putih-lah saya ikut grup mailing list pencinta dan pemilik Taft. Grup itu hidup sekali. Tiada hari tanpa diskusi tentang seluk beluk, jual beli, curhat penyakit mobil sekaligus paseanya, sampai narsis-narsisan mobil Taft. Kopi darat juga kerap dilakoni. Pokoknya seru dengan tiga "r".
Anggota grup juga sangat beragam, mulai dari newbie, macam saya, sampai yang kami panggil suhu karena tahu A sampai Z tentang Taft. Kayak dia yang ngeberojolin-nya aja ha ha. Demikian juga pekerjaan para tafter (sebutan para pemilik mobil Taft): beragam. Mulai tukang bengkel sampai tukang insinyur.
Saking ramainya lalu lintas grup Taft itu, di awal-awal, ada aturan tentang waktu dan tema diskusi dan panjang-pendeknya pesan. Ada sandi "one line please", kira-kira kulonuwun untuk yang mau nulis pos-el(emailnya)-nya agak panjang. Teknologi kala itu belum secanggih sekarang. Whatsapp juga belum lahir.
Kebiasaan menyimak diskusi dan curhat tentang si Putih di grup membuat saya mengerti sedikit-sedikit tentang mesin diesel lalu jatuh cinta pada jenis mesin itu. Suara diesel yang kasar terdengar bak betung perindu (buluh terlalu kecil). Bentuk bodinya yang kotak terlihat bagai muscle car. Daya tahannya menakjubkan serta tenaganya besar. Biaya maintenance-nya (ini yang penting) yang rendah membuat cinta saya jatuh berkali-kali.
Kalaupun ada, kekuranganan jenis mobil ini ada di suara mesin. Suaranya terdengar berisik atau lebih keras dari jenis mesin bensin. Bahkan, mobil diesel tersenyap pun tak akan menandingi mobil bensin paling bising. Dibanding keunggulannya, berisiknya tak ada apa-apa. Salah satu buktinya sedan mewah BMW seri 7 ada yang bermesin diesel.
Ada satu lagi kekurangan, mungkin, si Putih yang juga dimiliki oleh semua saudara dieselnya. Hatta yang sudah menggunakan teknologi commonrail sekali pun. Mobil diesel gampang masuk angin kalau terlambat "minum" atau kalau sudah 'haus" tak langsung diisi. Penyakit itu sama persis dengan punya manusia.
Untuk mengeluarkan angin yang membuat mobil tak bisa hidup ada alat "kerokan" khusus, namanya priming pump. Mirip-mirip istilah ekonomi untuk menstimulasi ekonomi yang anjlok karena resesi. Proses mengeluarkan angin itu namanya bleeding. Mirip istilah kedokteran, malah. Persis dengan proses kerokan yang membuat kulit memerah seperti berdarah (bleeding).
Masuk angin terjadi ketika ada udara masuk ke sistem bahan bakar. Biasanya disebabkan oleh kurang bbm. sehingga udara ikut tersedot oleh mesin. Mengerok angin mesin diesel dilakukan dengan melonggarkan saluran solar yang ada di pompa sambil menekan-nekan pompa agar solar berangin keluar. Si Putih seringkali dikerok. Indikator bbm-nya yg tak lagi berfungsi membuat saya sering salah menebak isi tangkinya.
Si Putih pernah ditabrak dari belakang. Kaca lampu rem kanan belakangnya pecah dan bagian itu agak melesak ke dalam. Jalanan beton berlumpur licin di kawasan Taman Tekno BSD, Serpong membuat laju truk di belakang kami tidak terem. Jadilah pantat si Putih yang kebetulan ada di depannya diciumnya. Sopir truk bertanggung jawab dan mengganti kerugian sesanggupnya.
Setelah pakai beberapa lama, suatu saat si Abang bilang kalau dia pengen punya mobil berpintu empat. Agar mudah turun naiknya, kayak mobil sepupunya, katanya. Sejatinya si Putih berpintu tiga. Tempat duduk untuk dua orang di belakang, aslinya untuk empat orang, dua-dua di setiap sisi kiri dan kanan. Jok belakang itu memiliki akses keluar masuk melalui pintu ketiga yang jarang kami buka. Ban setip yang berat menekan engsel pintu sehingga susah dibuka.
Hanya sehari sejak diiklankan untuk dijual di koran Jakarta Post, truk mini kami itu langsung disambar orang. Luka menganga bekas ditabrak truk menjadi alasan pembeli menawarnya dengan harga sedikit di bawah pasar. Dengan berat hati si Putih kami lepas. Ada sekitar dua tahun jip itu menempati garasi kami sebelum pindah ke garasi orang lain. Setelah gonta-ganti mobil lima kali sampai sekarang, kami rasakan mobil pertama itu tetap berkesan. Benar kata orang, first love never dies dan Taft memang mantaft. (AD)
Komentar
Posting Komentar