Langsung ke konten utama

Postingan

Kopi Solong*

Kawan pengusaha kafe dan kopi di Banda Aceh bercerita saat saya mengunjungi salah satu kafenya. Di cabang kafenya yang paling baru itu ada para pedagang makanan.  Ada nasi lemak, pecel lele, dan martabak. Masih ada dua lagi yg sedang dipersiapkan.  Para pedagang itu mitra kafe, mereka tinggal masuk, membawa peralatan dan bahan2 kuliner saja.  Gerai untuk berjualan telah disediakan. Biar standar semua, baik bentuk, penataan, kebersihan, sampai pada tulisan beserta hiasannya.  Gerai2 itu berbanjar seperti menyambut para tamu sebelum masuk kafe. Meriah tapi bersih.  Lantas bagaimana pembagian keuntungannya? Berapa sewa per gerai. Ini yang menarik.  Para pedagang hanya diminta menyisihkan 7℅ saja dari keuntungan hariannya. Kok kecil amat dan tanggung amat.  Kenapa ga dibulatkan 8, 10 atau 15, ato 20 saja? Apa ga rugi? Apa nutup?  Menurut kawan tadi, justru malah untung. Biaya sewa bulanan malah ketutup dari gerai2 makanan itu.  Bahkan masih ada sisanya utk bayar pajak, listrik, air, langga
Postingan terbaru

Mau Menjadi Zalim?*

Di sela-sela Kongres Bahasa Indonesia XI yang berlangsung beberapa saat yang lalu di Jakarta, saya berkesempatan mengobrol dengan seorang peserta kongres yang bercerita tentang gadis kecilnya yang fasih berbicara bahasa Minangkabau di rumah, lancar berbahasa Indonesia di sekolah, dan bergaul dalam bahasa Sunda yang capetang dengan teman sebaya di lingkungannya. Hal yang tidak biasa. Sebuah anomali di tengah semangat simplifikasi. Penguasaan atas beberapa bahasa memerlukan memori otak yang lebih besar dan struktur yang lebih rumit. Dwibahasawan dan poliglot berpotensi lebih cerdas dan cergas. Laporan penelitian di jurnal daring (onlinelibrary.wiley.com) September lalu mengungkapkan bahwa dwibahasawan dan poliglot memiliki kecerdasan spasial dan verbal lebih baik daripada ekabahasawan. Penelitian sebelumnya terhadap objek yang sama, yaitu mahasiswa kedokteran Universitas Cardiff, Inggris menunjukkan bahwa mahasiswa yang menguasai bahasa Yunani dan Latin memiliki penguasaan yang leb

Rambut*

Perdana Menteri Inggris yang terkenal karena isu Brexit adalah Boris Johnson. Padahal ia hanya mewarisinya dari Theresa May yang lempar handuk setelah tidak sejalan dengan parlemen. Sebenarnya, yang terkenal dari Mr. Johnson tidak hanya bagaimana ia menangani warisan May itu, tetapi juga rambutnya yang apa adanya.   Sejak menjadi politisi Partai Konservatif gaya rambut Mr. Johnson belum pernah keluar dari pakem "acakadut". Kalau tertiup angin atau sedang iseng Mr. Johnson dengan santai merapikannya dengan sisir lima jari. Setelah itu, mahkotanya itu akan kembali seperti helm Friar Tuck, sekondannya pahlawan kaum papa: Robin Hood. Acakadut tapi konsisten. Sekonsisten tekadnya maju menggantikan Mrs. May.   Tak banyak para figur publik, termasuk di negeri tercinta, yang berani tampil dengan rambut acak-acakan macam orang baru bangun tidur. Di antara yang segelintir itu ada penyanyi Rod Steward yang terkenal dengan lagu Prau Lajar versi londonya. Di Indonesia ada almarhu

Motor Trail Mini

Beberapa meter sebelum rel kereta api Cisauk ada toko yang sering membuat kami memutar otak. Memutar otak mencari cara lain untuk mengalihkan perhatian sekaligus menyiapkan penjelasan. Pengalihan dan penjelasan untuk si bungsu kami yang imannya selalu goyah setiap melewati toko itu. Toko itu menjual barang impian anak-anak. Ada sepeda motor trail , motor ATV dan sepeda motor balap. Persis yang digunakan Johny Pranata atau Popo Hartopo dulu. Semuanya dalam ukuran serba mini. Lengkap dengan ban pacul atau ban tahunya yang juga dalam ukuran mini. Malam itu kami kehabisan akal. Gara-garanya pintu rel kereta tertutup saat kami berada persis di depan hidung toko balap mini itu. Toko balap itu belum tutup. Cahaya lampunya terang benderang menyinari elok garis dan lekuk bodi sepeda motor yang dipajang. Aray terpesona dan betul-betul mengiler dibuatnya. Kami betul-betul keblinger meneguhkan iman Aray. Negosiasi yang alot dan lama dengan Aray berakhir dengan satu kesepakatan: harus beli

Janji Bocah

Maninjau, suatu dini hari akhir tahun 70-an. Pagi itu kami terjaga lebih cepat. Suara bayi membahana dari tengah rumah. Saya terbang dari kamar tidur. Ada perempuan terbujur dengan kedua kaki menganga di lantai. Mata bocahku sempat menangkap lubang di sana sebelum seorang bapak menggeser badannya menutupi. Aku lalu berputar ke dapur dan mendapati mami sedang memasak air panas. Antara senang dan sedih karena tak jadi senang. Senang karena bukan mami korban yang terbujur itu. Kecewa karena suara tangisan bayi tadi bukan bayi mami yg berarti bukan adikku. Dari mami aku tahu kalau yang terbujur itu adalah istri Pak Siabu. Istrinya yang hamil tua sudah kebelet, sehingga bayinya tak sempat mendarat di kamar bersalin bidan yang berada di belakang rumah kami. Bayinya akhirnya bertumpahdarahkan lantai teras rumah kami. Seringkali aku bertanya-tanya siapa nama anak Pak Arnas itu. Orang Batak biasa menamai anaknya dari tempat atau kejadian yang bertepatan dengan kelahiran. Bisa saja a

Çay Semblohay

Teh Turki atau çay berasal dari bahasa Arab شاي  (sya:y) yg artinya, iya, teh. Ç cedilla atau c berdiakritik bawah itu dilafalkan seperti /c/ dalam "cinta", sedangkan /c/ polos Turki dibaca seperti /j/ dalam "jet". Terus, /j/ bagaimana? Huruf /j/ mereka bunyikan seperti /j/ Prancis. Kira2 mirip /zh/ atau /z/ kita. Untuk menampung fonem yg kaya mereka "terpaksa" menggunakan diakritik. Tidak hanya konsonan, vokal mereka jg berdiakritik, contohnya nama Mesut Özil. Cay rasanya lebih kelat. Rasa kelat itu tersisa di tenggorokan beberapa saat setelah diteguk. Teh kelat itu istimewa, mulai dr tulisannya, bahan, takaran, suhu waktu dipanaskan sampai tadah dan gelasnya, semuanya tertentu. Gulanya juga khusus, gula putih berbentuk kotak yg tinggal ditambahkan mata di keenam sisinya, jadilah dia dadu, bisa untuk main ular tangga. Gula itu bukan gula batu kita yg kerasnya kayak akik. Gula itu adalah gula pasir halus sekali yg dipadatkan menyerupai kotak. Mungkin

Orwellian Berseragam Abu-Abu

Pas keluar dari sesaknya bus Transjakarta Senin pagi lalu (3/1) mataku terpancang pada tangan anak muda yang berjalan di samping. "Ekstensi" tangannya menarik karena tak biasa. Bukan gadget elektronik, ekstensi tangan populer anak muda kini. Di genggaman tangan kiri anak muda itu melekat buku tebal berbahasa Inggris. Di punggung buku sangat jelas terpajan: WHY NATIONS FAIL. Buku non-fiksi terkenal tentang politik-ekonomi hasil duet profesor ekonomi MIT, Daron Acemoglo dengan ilmuwan ekonomi Harvard, James A. Robinson. Gawai tak biasa, dengan tema yang lebih tak biasa lagi di tangan "bocah" berseragam putih abu-abu. Gawai di tangan anak muda berkacamata itu kelas tinggi. Itu layaknya bacaan pemimpin negara kayak Presiden Joko Widodo. Namun si bocah telah menentengnya ke mana-mana menemani waktu luangnya. Jangan dulu dibandingkan dengan kawan sebanyanya yang masih keranjingan mengeja permainan daring PUBG atau Freefire, saya saja waktu