Kawan pengusaha kafe dan kopi di Banda Aceh bercerita saat saya mengunjungi salah satu kafenya. Di cabang kafenya yang paling baru itu ada para pedagang makanan.
Ada nasi lemak, pecel lele, dan martabak. Masih ada dua lagi yg sedang dipersiapkan.
Para pedagang itu mitra kafe, mereka tinggal masuk, membawa peralatan dan bahan2 kuliner saja.
Gerai untuk berjualan telah disediakan. Biar standar semua, baik bentuk, penataan, kebersihan, sampai pada tulisan beserta hiasannya.
Gerai2 itu berbanjar seperti menyambut para tamu sebelum masuk kafe. Meriah tapi bersih.
Lantas bagaimana pembagian keuntungannya? Berapa sewa per gerai. Ini yang menarik.
Para pedagang hanya diminta menyisihkan 7℅ saja dari keuntungan hariannya. Kok kecil amat dan tanggung amat.
Kenapa ga dibulatkan 8, 10 atau 15, ato 20 saja? Apa ga rugi? Apa nutup?
Menurut kawan tadi, justru malah untung. Biaya sewa bulanan malah ketutup dari gerai2 makanan itu.
Bahkan masih ada sisanya utk bayar pajak, listrik, air, langganan internet dan keperluan lain seperti tisu, sabun cuci tangan dan kawan2nya. Lho kok bisa?
Mungkin penjelasannya begini. Sewa dan bagi hasil yang murah membuat harga juga murah, sehingga pemilik gerai leluasa untuk berkreasi memaksimalkan rasa dan tampilan.
Karena rasanya enak, tampilan mantap, tempat strategis serta bersih dan yang paling penting: murah, maka volume penjualan melambung. Volume yg tinggi mendongkrak nilai bagi hasil.
Sejatinya, yang dilakukan pebisnis macam kawan tadi adalan ekspansi. Memperluas bisnis.
Kafe tadi adalah restorannya yang keempat. Merupakan yang kesekian secara keseluruhan dr beberapa jenis bisnis yang digelutinya. Selain ekspansi tentu saja ikut menambah lapangan kerja.
Arti kafe itu bagi para pemilik gerai lebih mendasar lagi: untuk mencari hidup, mengais rezeki. Dari sana mereka memenuhi kebutuhan primer: makan, kesehatan, sampai sekolah anak.
Semakin ramai pelanggan semakin bagus kualitas hidup dan semakin baik mutu sekolah anak2 mereka. Sudah pasti para pemilik gerai menyempurnakan ihktiarnya dengan doa.
Secara ga langsung mereka ikut mendoakan kafe dan pemiliknya. Ada keberkahan doa yang ikut andil.
Tambahan lagi, kafe itu mempekerjakan, tepatnya membuka lahan bermagang, mantan siswa dan mahasiswanya. Oya, kawan itu juga dosen dan pemilik pesantren.
Para magang harus menimba ilmu sedalam-dalamnya. Mereka hanya diberi tenggat maksimal empat tahun. Setelah itu harus mempraktikkan lansung yang dipelajari dengan membuka usaha sendiri.
Semalam di sela-sela obrolan kami, kawan tadi juga sedang membicarakan pekerjaan dg tukang yang duduk semeja dan dijamu bersama kami.
Dia mau memindahkan pohon dan membuat septik tank baru. Tank yang lama berada dekat pohon yang sedang tumbuh remaja.
Agam, panggilan akrab teman itu, mengalah membangun tangki pembuangan baru dan mengutamakan pohon tumbuh. Memang kafe itu berada di pinggir sungai Penayong yang rindang.
Satu pelajaran penting yang saya petik dari kawan yang luar biasa itu adalah keselarasan. Keselarasan hidup berdampingan antara pengusaha, penyewa, bahkan fauna di sana.
Kebijakan kawan tadi memberikan ruang dan atmosfer untuk tumbuh selaras bersama, saling mendukung dan berbagi, bahkan untuk pohon sekalipun.
Kedai kopi, gerai makanan di dalamnya, dan pepohonan di sekitarnya yang menyediakan keteduhan dan ketenangan bertumbuh dan berkembang bersama dalam ekosistem kafe itu.
Semua senang, semua bahagia, dan semua saling sokong untuk berkembang bersama. Itu inti semuanya, tumbuh dan berkembang dalam keselarasan. (AD)
Azhari Dasman, Banda Aceh 25/08/2022
*Ditulis sambil ditemani kopi espreso sanger, gayo wine, dan cold brew di Kedai Kopi Solong Jepe (Jembatan Peunayong) dan Agam Syarifudin alias Cek Din Solong, pemilik Kedai Kopi Solong Jepe, putra almarhum Abu Solong, penerima penghargaan Marketer of the Year Banda Aceh 2015.
Komentar
Posting Komentar