Di sela-sela Kongres Bahasa Indonesia XI yang berlangsung beberapa saat yang lalu di Jakarta, saya berkesempatan mengobrol dengan seorang peserta kongres yang bercerita tentang gadis kecilnya yang fasih berbicara bahasa Minangkabau di rumah, lancar berbahasa Indonesia di sekolah, dan bergaul dalam bahasa Sunda yang capetang dengan teman sebaya di lingkungannya. Hal yang tidak biasa. Sebuah anomali di tengah semangat simplifikasi.
Penguasaan atas beberapa bahasa memerlukan memori otak yang lebih besar dan struktur yang lebih rumit. Dwibahasawan dan poliglot berpotensi lebih cerdas dan cergas. Laporan penelitian di jurnal daring (onlinelibrary.wiley.com) September lalu mengungkapkan bahwa dwibahasawan dan poliglot memiliki kecerdasan spasial dan verbal lebih baik daripada ekabahasawan. Penelitian sebelumnya terhadap objek yang sama, yaitu mahasiswa kedokteran Universitas Cardiff, Inggris menunjukkan bahwa mahasiswa yang menguasai bahasa Yunani dan Latin memiliki penguasaan yang lebih baik dalam bidang anatomi.
Bahasa bukan perangkat komunikasi belaka, ia mengandung kompleksitas budaya yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Setiap bahasa mengodekan pandangan khususnya terhadap dunia berupa adaptasi dan refleksi masyarakat tertentu atas lingkungan alam yang membuat mereka dapat menyintas ratusan, bahkan ribuan tahun. Kita masih ingat teriakan semong yang menyelamatkan masyarakat Simeulue dari tsunami tahun 2004. Demikian juga suku Kaili di Palu yang menghindari daerah merah rawan nalodo untuk ditinggali. Melalui bahasa, nenek moyang berwasiat kepada kita.
Sebagaimana organisme hidup lainnya, bahasa tumbuh, hidup, berkembang, lalu lestari atau mati. Salah satu pembunuh bahasa adalah perkawinan antarsuku. Urbanisasi dan heterogenitas meniscayakan pernikahan antarsuku. Pasangan berbeda latar bahasa menggunakan bahasa yang dimengerti semua untuk urusan domestiknya. Alasan pragmatis dan praktis tersebut, tanpa disadari, menjadikan banyak keluarga sebagai tempat mengeksekusi bahasa alih-alih membidani transmisinya. Keluarga menjadi kuburan pertama bahasa, terkadang beberapa bahasa dalam satu lubang. Potensi keluarga sebagai persemaian yang sangat subur untuk menumbuhkan bahasa terabaikan.
Hilangnya warisan budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam bahasa membangunkan banyak negara dari tidur. Usaha-usaha melestarikan bahasa, bahkan menghidupkan kembali bahasa mati (baca: revitalisasi) juga dilakoni. Australia, tepatnya Universitas Adelaide terkenal atas usahanya merevitalisasi bahasa-bahasa Aborigin, salah satunya bahasa Kaurna. Usaha hampir selama tiga dasawarsa itu membuahkan hasil. Bahasa Kaurna, salah satu dari 250-an bahasa punah di Australia yang berhasil dibangkitkan kembali dari kuburnya. Masalah belum selesai, pengajaran bahasa Kaurna terkendala minimnya jumlah pengajar.
Bahasa tumbuh di lingkungan dan waktu tertentu. Adaptasinya terhadap waktu, tempat, penutur, dan sebagainya menjadikan setiap bahasa itu unik. Menghidupkan kembali sebuah bahasa berbeda dengan mempertahankan yang sudah ada. Bahasa Kaurna dan beberapa bahasa yang berhasil kembali direvitalisasi tidak sama dengan yang pernah ada. Bahasa Kaurna baru itu miskin dari segi ekspresi, kompleksitas gramatikal, register khusus, variasi dialek, idiom, dan metafora (Amery, 2000). Bahasa Ibrani yang dianggap contoh sukses lain, menyerap banyak sekali bentuk hibrida dari kekayaan bahasa lain hasil percampuran dengan bahasa penduduk Israel modern yang berasal dari berbagai latar bahasa (Zuckermann, 2004; 2006). Bahasa yang bangkit tidak sama dengan bahasa yang pernah mati.
Selandia Baru dapat menjadi praktik baik dalam pengelolaan kekayaan bahasa. Di sana usaha pelestarian bahasa dilakukan mulai dari keluarga. Keluarga menjadi tempat menyemai dan meneruskannya ke generasi berikut. Negara memberikan penghargaan khusus untuk keluarga yang berhasil mentransmisikan bahasa Maori kepada beberapa generasi melalui program bernama The Māori 1000 Homes yang sukses. Negara persemakmuran Inggris itu mewajibkan setiap warganya menguasai tiga bahasa, yaitu bahasa Inggris, bahasa Maori, dan bahasa isyarat. Ketiganya adalah bahasa resmi Selandia Baru.
Kembali ke perbualan di sela-sela jeda kopi. Tidak salah kalau sambil berseloroh peserta kongres tadi mengatakan bahwa orang tua yang mencukupkan penguasaan bahasa tertentu hanya sampai diri mereka dan tidak mentransmisikannya kepada generasi berikut termasuk zalim, karena memutus informasi penting yang dapat membuat generasi berikut hilang kesempatan untuk menjadi lebih cerdas, cergas, dan sintas.
Diterbitkan di kolom bahasa! Majalah Tempo edisi 6 September 2018 dengan judul Banyak Bahasa, Banyak Bisa (https://majalah.tempo.co/read/bahasa/156727/banyak-bahasa-banyak-bisa)
Komentar
Posting Komentar