Beberapa meter sebelum rel kereta api Cisauk ada toko yang sering membuat kami memutar otak. Memutar otak mencari cara lain untuk mengalihkan perhatian sekaligus menyiapkan penjelasan. Pengalihan dan penjelasan untuk si bungsu kami yang imannya selalu goyah setiap melewati toko itu.
Toko itu menjual barang impian anak-anak. Ada sepeda motor trail, motor ATV dan sepeda motor balap. Persis yang digunakan Johny Pranata atau Popo Hartopo dulu. Semuanya dalam ukuran serba mini. Lengkap dengan ban pacul atau ban tahunya yang juga dalam ukuran mini.
Malam itu kami kehabisan akal. Gara-garanya pintu rel kereta tertutup saat kami berada persis di depan hidung toko balap mini itu. Toko balap itu belum tutup. Cahaya lampunya terang benderang menyinari elok garis dan lekuk bodi sepeda motor yang dipajang. Aray terpesona dan betul-betul mengiler dibuatnya. Kami betul-betul keblinger meneguhkan iman Aray.
Negosiasi yang alot dan lama dengan Aray berakhir dengan satu kesepakatan: harus beli mainan sebagai kompensasi. Akhirnya kami terpaksa menuju toko mainan yang tak jauh dari sana. Aray telah beberapa kali mampir ke situ. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak: toko mainan itu sudah tutup. Kesepakatan batal.
Kompensasi atas pembatalan lebih berat. Aray kukuh kembali ke permintaan awal: sepeda motor trail mini yang bannya kayak tahu tadi harus diboyong pulang. Aray bernegosiasi macam harimau tertusuk duri sekaligus kena bawang: raungnya keras, air matanya deras.
Tak ada tawar menawar lagi. Putusannya wajib dan mengikat. Kami terpaksa kembali memutar otak lagi. Meskipun sadar bahwa hanya kancil yang bisa lolos dari kuali panas Pak Tani.
Teringat negosiasi alot besi dan air yang lalu. Aray terpincut mainan senapan laras panjang bermerek, buatan luar negeri yang sering ada iklannya di tv. Waktu itu tak ada yang menghalangi antara dompet saya dan mesin kasir kecuali satu. Trada! saya langsung ingat: lisensi polisi.
Maksudnya untuk punya senjata senapan laras panjang itu harus ada izin polisi, terangku panjang lebar. Aku bilang begitu sambil mengedipi Mbak kasir. Untung Mbaknya tak salah paham. Kalau salah paham bisa-bisa yang repot sekeluarga ha ha...
Syukurlah jurus lisensi polisi itu masih manjur. Aray bersedia menangguhkan permintaanya dengan syarat harus mendatangi polisi, langsung. Syukurnya lagi, mengunjungi polisinya boleh besok, tak harus malam ini. Tak terbayang kalau si bocah empat tahunan itu mengotot ke polisi malam itu juga.
Besok pagi saya dan Aray terpaksa mampir ke kantor polisi. Sebelum sampai di kantor polisi, saya di- briefing dulu oleh Aray. Pokoknya saya harus menanyakan tentang boleh atau tidaknya anak kecil memiliki sepeda motor mini. Kalau boleh, motor ban tahu itu harus diboyong pulang. Tak boleh tidak. Aku senyum-senyum saja karena sudah punya jurus ampuh: mengedipi orang.
Sampai di depan kantor polisi kami turun. Aray berjalan di samping dengan pede. Mungkin dalam hati dia berdoa agar polisinya memihak dia sebagaimana aku juga berdoa sebaliknya. Entah doa siapa yg mangkus nanti. Tapi kayaknya aku masih di atas angin. Ada semacam "adult aggrement" antara orang dewasa ketika menyangkut kerewelan dan kenakalan anak. Mudah-mudahan masih manjur.
Di halaman dan pintu masuk kantor polisi ramai orang berdiri dan duduk-duduk. Di teras kami berpapasan dengan seorang petugas polisi. Saya langsung menyapa. Tentu saja tak lupa mengenalkan diri dan ketua rombongan yang berdiri memegang paha saya di samping. Lalu saya sampaikan maksud kedatangan kami sesuai briefing ketua rombongan itu tadi.
Pak Polisi tadi sangat tertarik dengan ketua rombongan yang berdiri di sebelah saya. Matanya tertuju terus ke Aray. Si polisi menanyakan usia dan nama ke Aray lagi. Tentu saja dengan gaya guru TK. Aray menganguk-angguk waktu diceramahi polisi. Aku lupa apa saja isi ceramahnya. Yang aku ingat: rajin-rajin belajar, belajar naik motornya nanti saja kalau udah SMP.
Alhamdilah, keluar dari kantor polisi Aray tak lagi minta dimahari motor trail mini. Aku bersyukur. Minimal karena terbebas dari bencana beliin motor yang tak murah dan segala konsekuensinya. Kedua, ini yang lebih penting: tak jadi mengedipi polisi... ha ha
...
Sekarang, kalau kebetulan lewat di depan toko balap itu lalu terpesona dengan keelokan motor Aray biasa bilang "Ayah aku mau... eh... owh iya." Imannya sudah kokoh. Alhamdulilah. (AD)
Toko itu menjual barang impian anak-anak. Ada sepeda motor trail, motor ATV dan sepeda motor balap. Persis yang digunakan Johny Pranata atau Popo Hartopo dulu. Semuanya dalam ukuran serba mini. Lengkap dengan ban pacul atau ban tahunya yang juga dalam ukuran mini.
Malam itu kami kehabisan akal. Gara-garanya pintu rel kereta tertutup saat kami berada persis di depan hidung toko balap mini itu. Toko balap itu belum tutup. Cahaya lampunya terang benderang menyinari elok garis dan lekuk bodi sepeda motor yang dipajang. Aray terpesona dan betul-betul mengiler dibuatnya. Kami betul-betul keblinger meneguhkan iman Aray.
Negosiasi yang alot dan lama dengan Aray berakhir dengan satu kesepakatan: harus beli mainan sebagai kompensasi. Akhirnya kami terpaksa menuju toko mainan yang tak jauh dari sana. Aray telah beberapa kali mampir ke situ. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak: toko mainan itu sudah tutup. Kesepakatan batal.
Kompensasi atas pembatalan lebih berat. Aray kukuh kembali ke permintaan awal: sepeda motor trail mini yang bannya kayak tahu tadi harus diboyong pulang. Aray bernegosiasi macam harimau tertusuk duri sekaligus kena bawang: raungnya keras, air matanya deras.
Tak ada tawar menawar lagi. Putusannya wajib dan mengikat. Kami terpaksa kembali memutar otak lagi. Meskipun sadar bahwa hanya kancil yang bisa lolos dari kuali panas Pak Tani.
Teringat negosiasi alot besi dan air yang lalu. Aray terpincut mainan senapan laras panjang bermerek, buatan luar negeri yang sering ada iklannya di tv. Waktu itu tak ada yang menghalangi antara dompet saya dan mesin kasir kecuali satu. Trada! saya langsung ingat: lisensi polisi.
Maksudnya untuk punya senjata senapan laras panjang itu harus ada izin polisi, terangku panjang lebar. Aku bilang begitu sambil mengedipi Mbak kasir. Untung Mbaknya tak salah paham. Kalau salah paham bisa-bisa yang repot sekeluarga ha ha...
Syukurlah jurus lisensi polisi itu masih manjur. Aray bersedia menangguhkan permintaanya dengan syarat harus mendatangi polisi, langsung. Syukurnya lagi, mengunjungi polisinya boleh besok, tak harus malam ini. Tak terbayang kalau si bocah empat tahunan itu mengotot ke polisi malam itu juga.
Besok pagi saya dan Aray terpaksa mampir ke kantor polisi. Sebelum sampai di kantor polisi, saya di- briefing dulu oleh Aray. Pokoknya saya harus menanyakan tentang boleh atau tidaknya anak kecil memiliki sepeda motor mini. Kalau boleh, motor ban tahu itu harus diboyong pulang. Tak boleh tidak. Aku senyum-senyum saja karena sudah punya jurus ampuh: mengedipi orang.
Sampai di depan kantor polisi kami turun. Aray berjalan di samping dengan pede. Mungkin dalam hati dia berdoa agar polisinya memihak dia sebagaimana aku juga berdoa sebaliknya. Entah doa siapa yg mangkus nanti. Tapi kayaknya aku masih di atas angin. Ada semacam "adult aggrement" antara orang dewasa ketika menyangkut kerewelan dan kenakalan anak. Mudah-mudahan masih manjur.
Di halaman dan pintu masuk kantor polisi ramai orang berdiri dan duduk-duduk. Di teras kami berpapasan dengan seorang petugas polisi. Saya langsung menyapa. Tentu saja tak lupa mengenalkan diri dan ketua rombongan yang berdiri memegang paha saya di samping. Lalu saya sampaikan maksud kedatangan kami sesuai briefing ketua rombongan itu tadi.
Pak Polisi tadi sangat tertarik dengan ketua rombongan yang berdiri di sebelah saya. Matanya tertuju terus ke Aray. Si polisi menanyakan usia dan nama ke Aray lagi. Tentu saja dengan gaya guru TK. Aray menganguk-angguk waktu diceramahi polisi. Aku lupa apa saja isi ceramahnya. Yang aku ingat: rajin-rajin belajar, belajar naik motornya nanti saja kalau udah SMP.
Alhamdilah, keluar dari kantor polisi Aray tak lagi minta dimahari motor trail mini. Aku bersyukur. Minimal karena terbebas dari bencana beliin motor yang tak murah dan segala konsekuensinya. Kedua, ini yang lebih penting: tak jadi mengedipi polisi... ha ha
...
Sekarang, kalau kebetulan lewat di depan toko balap itu lalu terpesona dengan keelokan motor Aray biasa bilang "Ayah aku mau... eh... owh iya." Imannya sudah kokoh. Alhamdulilah. (AD)
Komentar
Posting Komentar