Kawan pengusaha kopi di Banda Aceh bercerita saat kami bersua di salah satu kedainya. Di cabang kafenya yang paling baru itu berjejer pedagang makanan. Ada nasi lemak, martabak, bahkan pecel lele. Masih ada dua lagi yang tengah disiapkan. Para pedagang itu mitra kafenya. Mereka tinggal masuk, membawa peralatan dan bahan2 kuliner saja. Gerai untuk berjualan telah tersedia. Biar semua standar: bentuk, penataan, kebersihan, sampai pada tulisan beserta hiasannya. Gerai2 itu berbanjar seperti pagar bagus menyambut para tamu sebelum masuk kafe. Semua bersih, rapi, dan meriah. Lantas bagaimana pembagian keuntungannya? Berapa sewa per gerai. Ini yang menarik. Para pedagang hanya diminta menyisihkan 7℅ saja dari keuntungan hariannya. Kok kecil dan tanggung amat. Kenapa ga dibulatkan 8, 10, 15, atau 20% saja? Apa tak rugi? Apa nutup? Menurut kawan tadi, justru malah untung. Biaya sewa bulanan malah tertutupi dari sewa gerai-gerai makanan itu. ...
Di sela-sela Kongres Bahasa Indonesia XI yang berlangsung beberapa saat yang lalu di Jakarta, saya berkesempatan mengobrol dengan seorang peserta kongres yang bercerita tentang gadis kecilnya yang fasih berbicara bahasa Minangkabau di rumah, lancar berbahasa Indonesia di sekolah, dan bergaul dalam bahasa Sunda yang capetang dengan teman sebaya di lingkungannya. Hal yang tidak biasa. Sebuah anomali di tengah semangat simplifikasi. Penguasaan atas beberapa bahasa memerlukan memori otak yang lebih besar dan struktur yang lebih rumit. Dwibahasawan dan poliglot berpotensi lebih cerdas dan cergas. Laporan penelitian di jurnal daring (onlinelibrary.wiley.com) September lalu mengungkapkan bahwa dwibahasawan dan poliglot memiliki kecerdasan spasial dan verbal lebih baik daripada ekabahasawan. Penelitian sebelumnya terhadap objek yang sama, yaitu mahasiswa kedokteran Universitas Cardiff, Inggris menunjukkan bahwa mahasiswa yang menguasai bahasa Yunani dan Latin memiliki penguasaan yang leb...