Dalam
perjalanan ke Telaga Pelangi, Cisauk, si Abang bertanya,"Berakan itu
artinya apa, Yah? "Mana? saya balik bertanya. "Itu", jawabnya
sambil menunjuk sebuah plang sederhana yang mencuat di tengah- tengah tumpukan pasir dan batuan di sebelah kiri jalan.
Di plang
papan tripleks butut itu tertulis samar-samar ala kadarnya dng cat yg hampir sama
tidak jelasnya dengan warna latar tripleks: menerima berakan!
Setelah
mengerenyitkan dahi beberapa saat saya jawab dengan hati-hati. Saya coba
menerangkan dari sisi bahasa dulu agar lengkap. Dari sisi istilah, kata itu sangat memenuhi konsep yg diinginkan,
sederhana, mudah diingat, berkonotasi sama, dan tentu saja fonotaktis atau
mudah dilafalkan, terang saya.
Ada hal lain
yg saya terangkan tidak semudah sisi bahasa, yaitu sisi konsep, definisi, dan
rumpang leksikal yang diisi oleh istilah itu. Saya berusaha berhati-hati sekali
karena tidak ingin anak saya salah paham atau benar paham tapi salah menilai
atau benar menilai tapi salah menerapkan.
Berakan
itu dr kata berak, kotoran manusia atau tahi. Kenapa berak? Pertama, ada kebutuhan untuk memadankan konsep mengeluarkan
sebagian dari muatan (pasir, batu, dsb) untuk dijual. Kedua, barang yang dikeluarkan untuk dijual tersebut adalah benda terlarang.
Terlarang karena didapat dan dijual melalui kolusi dan korupsi. Kok bisa kolusi
dan korupsi?
Begini
ceritanya: untuk bisa berak (menjual sebagian dari muatan secara tidak sah), si
sopir atau kernetnya "memberikan donasi" kepada
si penanggung jawab barang. Penanggung
jawab barang, pasti bukan pemilik,
lalu secara diam-diam melebihkan muatan.
Untuk pasir,
gampang diketahui. Biasanya truk yang akan berak terdeteksi dari
"tahi" (maaf) yg terlihat melimpah dan melewah melebihi batas ambang
muat. Kelebihan muatan itulah yang, kemudian, diberakkan di tempat berplang
tadi dengan imbalan. Tempat berplang tadi mau membeli karena harga miring.
Tidak
semua "kakus" ada tandanya. Banyak "kakus" yang tanpa
plang. Tinggal seberapa "kebelet" sopir atau kernet tertentu,
sehingga dapat menghidu keberadaan kakus di mana saja dia berada, bertanda atau tanpa tanda. Kernet atau sopir
yang selalu kebelet, bisanya, sangat mahir. Dia bisa berak di mana saja.
Selain berak ada
lagi kecing. Kencing adalah istilah untuk berak air. Yang dikencingkan itu
biasanya barang berbentuk cairan atau likuid. Bisa bensin, solar, atau cairan
lain yang berharga. Namun istilah kencing itu sudah agak jarang terdengar.
Konon itu imbas dari pengetatan pengawasan yg dilakukan Pertamina dengan
mitranya pom bensin.
Bahasa adalah
budaya. Suatu kata tercipta untuk memberi cangkang terhadap konsep yang lahir
atau tumbuh. Kebiasaan melebihkan takaran dengan upah tertentu dan menjual atau
membeli secara tidak sah itu memerlukan wadah.
Kemudian, dicomotlah
kata yang memiliki kemiripan konsep utk mewadahi itu. Jadilah berak dan
kencing, misalnya, menjadi wadah atas konsep kolutif dan korupsif tadi.
Konotasinya sama negatifnya dengan konsepnya.
Jadi berak, kencing, uang rokok, lahan basah,
proyek, pintar cari uang, salam tempel, gaji kecil sampingan besar, ada
gajihnya, ada dagingnya, dsb itu nyata ada. Kita membutuhkan kata sampai frasa
untuk mewadahi konsep praktik kolusif dan koruptif kita. Jadi, kayaknya benar
kalau korupsi itu bagian dari budaya kita?
(AD)
Komentar
Posting Komentar