Aku bertetangga di sal rumah sakit dengan bapak yg sebagian badannya lemah terkena serangan stroke gara2 gula darahnya tinggi. Mereka dari Muara Kerinci, Riau. Si bapak terkena serangan dalam perjalanan.
Dari
balik kelambu yang membatasi kami, sering terdengar suara keluhan si bapak
mulai dr tidak betah pakai popok, makanan yg tidak enak, tidak bisa bergerak
leluasa, nafas sesak dan segala macam keluhan yg dirasakan oleh orang yg baru
terkena stroke.
Keluhan
si bapak dr Kerinci terdengar mulai dr lirih sampai keras. Mulai dr memohon
sampai marah. Mulai dr memelas sampai mengomel. Suara cadel akibat serangan
stroke si bapak seringkali menembus tirai pembatas.
Keterbatasan
kemampuan dan gerak yang datang tiba-tiba seringkali merenggut kesabaran. Tidak
semua kita memiliki kemampuan untuk menerima, ikhlas, dan siap utk tiba-tiba
lemah, cadel, lumpuh, dan seterusnya.
Pada hari
terakhir saya di RS, beberapa saat sebelum pulang ada suara berdebum sesuatu
jatuh dikuti oleh suara istigfar. Bapak Kerinci terjatuh dari tempat tidur.
Istrinya, sepertinya, tidak kuat menahan beban badan suaminya. Istrinya hanya
bisa beristigfar sambil berusaha menarik badan si bapak bangun. Aku segera
membantu beliau bangun sambil berteriak memanggil suster. Untung selang infus
di tangan kananku sudah dilepas dr kemarin.
Ibu
Kerinci berkali-kali mengucapkan terima kasih dengan muka bersungguh-sungguh.
Dengan hati-hati dan kasih sayang beliau papah suaminya ke tempat tidur beliau
usap badannya sambil beristigfar berulang-ulang. Badannya memang lebih kecil dr
suaminya tetapi rasa sayang dan sabarnya lebih besar, melebihi badan suaminya.
Dari awal
mereka datang tidak pernah aku dengar suara keras dan mengeluh dr Ibu Kerinci
di balik kelambu sebelah. Selalu suara lembut dan menenangkan. Ketika Bapak
Kerinci minta makan ini-itu, ingin ini-itu, Ibu Kerinci teguh melarang dengan
lembut. Masih terngiang di telinga, si ibu bilang: ndak bisa doh, Pak. Lembut
dan penuh kasih sayang. Saya juga tak henti-henti mendengar suara lembut
istigfar dan takbir dari sebelah.
Ada lagi,
saban malam ibu Kerinci tidur sambil duduk. Kepalanya ditundukkan ke kasur
suaminya. Berbantal kasur suaminya, tangannya memegang kaki suaminya. Aku
beberapa kali melirik sambil ke kamar mandi. Setiap kali suaminya bergerak
tentu saja dia akan terjaga. Luar biasa beliau menjaga suaminya ketika sakit.
Tidak usah ditanya bagaimana kira2 si bapak Kerinci diperlakukan ketika sehat.
Beberapa
hari terakhir, bapak Kerinci semakin tenang. Hanya sesekali terdengar suara
dari kelambunya. Cara istrinya merawat, menguatkan sambil membentangkan sayap
kasih-sayangnya mampu meredam segala kegelisahan suaminya. Keluhan dan suara
yang semakin lembut dan jarang terdengar dari bapak Kerinci menandakan itu.
Saya
tersadar: ketika anak-anak sudah besar, badan tidak lagi kuat, uang sudah tidak
sebanyak dlu, dan teman tidak semelimpah biasanya ada orang yg akan tetap setia
di samping kita. Dia adalah istri atau suami. Dialah manusia yang akan terus
ada di sana dalam suasana duka apalagi suka. Dialah makhluk yg diutus Allah
untuk melayani dan mendampingi di sini dan di sana kelak. Sekarang dan nanti.
Kesabaran,
keteguhan, keimanan, dan kasih sayang yang ditunjukkan ibu Kerinci bisa saja
bukan bawaan lahir. Karakter itu adalah hasil tempaan selama puluhan tahun
mendampingi pasangannya. Mereka (suamj dan istri) tumbuh bersama saling
mengisi, saling menempa, dan saling mempengaruhi. Karakter istri adalah cermin
dari karakter suami. Kita bisa menebak seorang pria hanya dengan mengenal
istrinya dan sebaliknya.
Alhasil,
selagi sempat, muda, dan kuat mari beri pengaruh dan tempaan yg baik untuk
belahan jiwa. Buah yg baik berasal dari bibit, rawatan, dan iklim yang sehat.
Sebaliknya, buah celaka tumbuh dari tempaan dan pengaruh yang buruk yg ditanam
dan disemai selama puluhan tahun.
Sekian
Rumah
Sakit Stroke Nasional Bukittinggi (RSSN), beberapa saat setelah diizinkan
dokter pulang
Komentar
Posting Komentar