Jalan yang
biasa kami lalui mulai ramai kembali. Tembok-tembok, batang pohon, papan iklan,
dan semua yang memiliki permukaan yg bisa ditempel, tenggelam dalam lautan
poster. Poster jelek yang membosankan. Hanya muka yang berbeda tapi gaya dan
jualannya masih sama.
Wajah-wajah
di poster selalu tertawa atau tersenyum. Memang kelihatan pada ganteng dan cantik. Entah
dibuat gitu atau memang aslinya gitu. Tapi tak mungkinlah semua pada begitu.
Lagi pula tampilan fisik tak menjadi syarat untuk jadi itu.
Tampilan
fisik hanya usaha agar yang memilih berkenan. Mungkin menurut mereka masyarakat
lebih menyukai orang yang ramah dan baik. Perimeter spekulatif dua hal itu
adalah senyum. Entah rumus dari mana. Jadi ingat foto bayi montok yang selalu
tersenyum tanpa dosa sambil gedek2
kepala di jam dinding... he he
Di antara
ratusan poster muka yang menggantikan fungsi rambu lalin dan hijaunya pepohonan
terselip satu gambar ganjil. Ganjil kerana tampil "aneh" di antara
yang "normal". Poster itu ganjil karena menyalahi kebiasaan. Tak ada
senyum: tak ramah dan baik. Ditambah lagi, tak ada kata-kata ajakan busuk.
Kenapa busuk? Karena biasanya sederet kata atau frasa akuan yang menjelaskan poster tak ada
hubunganya dengan perangai nanti setelah terpilih. Sekurang-kurangnya itu yang
kita pelajari dari semua pemilihan selama ini.
Kenapa busuk
karena biasanya sederet kata atau frasa akuan yang menjelaskan poster tak ada
hubungannya dengan perangai nanti setelah dipilih. Sekurang-kurangnya itu yang
kita pelajari dari semua pemilihan selama ini.
Kembali
ke poster aneh tadi. Poster itu jauh dari gaya-gayaan apalagi gaya burung hantu yang terkenal itu. Tak banjir kata- kata buruk
pula. Poster tadi sederhana: hanya gambar bapak setengah baya berwajah cemara
yang siap membuka kancing lengan bajunya.
Muka bapak
itu tak persis menghadap kamera. Candid banget.
Minimal tak ada aba-aba "cis kacang buncis". Di sebelah muka si
mamang (kesan yang terbangun) tertera tiga kata sederhana tapi kuat: Ada,
Manfaat, Siap. Sudah itu saja. Namun kesan yang dibangunnya sangat dalam dan
kuat.
Gaya yang
dipilih pas. Reaktif dan partispatif. Gaya bersiap ikut membantu dan bekerja
ditambah mata yang tak mengarah kamera memberi kesan spontan bukan
bikin-bikinan. Posisi itu adalah posisi aktif dan siap berpartisipasi. Kancing
lengan baju yang siap digulung memberi pesan bersiaga atau selesai bekerja.
Berbeda jauh dengan gambar lain yang menghadap kamera sambil tersenyum manis.
Yang pertama telah berbicara, sedang yang lain baru berjanji.
Tiga
kata sederhana menjelaskan sekaligus menguatkan gambar. Gambar yang berbicara
tentang kesiap-sediaan ditegaskan dengan kehadiran, kebermanfaatan, dan
kesediaan. Tiga konsep yang selalu lupa dihadirkan dalam poster para calon yang
baru mau menjual diri. Bersih, anti-korupsi, sederhana, merakyat dan sejenisnya
telah menjadi kata-kata gombal. Maknanya telah aus. Perlu kata lain yang apa
adanya dan si bapak yang siap membuka kancing lengan kemejanya berhasil menemukannya.
Itu
belum hasil akhir. Konon, saat ini hasil akhir bahkan ditentukan oleh seberapa
kuat mereka mempengaruhi media. Baik media arus utama, maupun media arus
pinggiran. Namun demikian, paling kurang, untuk permulaan si mamang sudah memberi teladan begaimana seharusnya
menjual diri dengan seadanya. (AD)
Komentar
Posting Komentar